Pintu lasem

Mei 03, 2021

  Kota Lasem merupakan kota tua dan kota bersejarah karena dahulu Lasem merupakan bandar pelabuhan besar sejak abad 12 saat kerajaan Majapahit sampai dengan abad 19 saat kolonialisme Belanda. Kawasan Pecinan Lasem dengan pola spatial berupa koridor dan bentuk rumah tinggal yang khas merupakan kekayaan arsitektur nusantara.

 

Pintu GerbangRumah tinggal pecinan Lasem diawali dengan pintu gerbang yang terletak satu garis dengan pintu masuk bangunan serta altar. Sumbu ini memenuhi nilai simetri bangunan yang membagi rumah menjadi dua bagian yang sama dan menjadi ciri khas arsitektur rumah tinggal Cina. Secara umum bentuk gerbang yang ada di Lasem dibedakan dua jenis, yaitu 1) gerbang yang berbentuk gapura, 2) gerbang yang berbentuk rumah. Bentuk gapura memiliki dinding pagar yang mengitari bangunan secara keseluruhan dan memiliki ketinggian hampir setinggi dinding rumah. Pintu yang digunakan biasanya memiliki model dua pintu dimana umumnya terpasang nama pemilik rumah.






karya muchadi 

akrilik kanvas 20 x 30 cm

2019


SEJARAH LASEM


Pada abad 1 SM-1M di Cina, India dan Eropa sudah hadir karya-karya arsitektur yang saling berbeda (Ching, Jarzombek & Prakash, 2017). Arsitektur di Indonesia berhubungan dalam intensitas yang tinggi dengan arsitektur Cina (dan India) hingga abad ke-15 (Prijotomo dalam Rahardhian et.al, 2018). Arsitektur Cina adalah bagian dari sejarah Indonesia merupakan topik yang menarik, karena dari sekian banyak Arsitektur Cina di Indonesia dari Sabang sampai Papua yang tidak sama karena keberagaman langgamnya, perlu diteliti lebih seksama, masing-masing Arsitektur Cina di tempat yang berbeda di Indonesia membawa ciri khas tersendiri yang berbeda bahan bangunannya dan menyesuaikan kondisi lokal yang ada. Meskipun berbeda-beda, tetapi arsitektur Cina tetap dalam bingkai arsitektur nusantara.Keberagaman Arsitektur Cina ini merupakan bagian dari kekayaan arsitektur Indonesia dan juga berperan sangat besar dalam langgam arsitektur nusantara. Membicarakan arsitektur tradisional Cina di Indonesia sama dengan membicarakan arsitektur tradisional lainnya di Tanah Air (Pratiwo, 2010:6). Keunikan Arsitektur Cina adalah penekanannya pada detail dan simbolisasi pada kelenteng dan rumah tinggalnya yang memiliki makna emosional. Kawasan Pecinan Lasem merupakan salah satu kawasan yang turut berperan dalam menciptakan identitas kota Lasem

Kawasan Pecinan Lasem merupakan sebuah kawasan yang cukup unik karena selain memiliki potensi fisik ruang kawasan dan artefak rumah tinggal, juga memiliki potensi sosial budaya yang melatarbelakangi bentukan fisiknya. Kota Lasem merupakan sebuah kota kecamatan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah yang menyimpan banyak warisan kebudayaan. Lasem merupakan kota tua dan kota bersejarah juga mendapat sebutan Kota Santri karena banyaknya pondok pesantren kuno yang berbaur di tengah-tengah pecinan. Potensi ekonomi tinggi dengan batik tulis Lasem yang menjadi ikon budaya dan merupakan hasil perpaduan budaya Jawa dengan budaya pendatang Cina. Dahulu Lasem merupakan Bandar pelabuhan besar sejak zaman Kerajaan Majapahit sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang. Pada saat itu Lasem menyimpan warisan sejarah yang sangat penting sebagai kota pemerintahan di daerah pesisir Utara Jawa dan perpaduan budaya yang terjadi merupakan representasi dan percampuran budaya pendatang dan budaya lokal yang terbentuk melalui perjalanan panjang sejarah budaya pesisir Jawa sejak abad ke-14 dan membentuk karakteristik arsitektur yang khas yang menjadi bagian penting dari kebudayaan pesisir Utara Jawa. Kota Lasem sangat unik bukan hanya karena arsitektur, batik dan ritualnya memiliki karakter yang berbeda, tetapi kota itu sendiri memainkan peran penting dalam sejarah Tionghoa yang lahir di Indonesia, yaitu pada abad ke-13 ketika orang Cina pertama kali tiba dan menetap di Lasem, jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai di Jawa. Pada abad ke-15, mereka membangun pemukiman permanen di dataran rendah bagian timur sungai Lasem, di mana sebuah pelabuhan terletak sebagai pusat perdagangan (Pratiwo, 2010). 

 Tatanan pemukiman sebagai produk budaya, penyusunannya ditentukan oleh tiga faktor yaitu: bentuk lingkungan bangunan, kondisi alam sekitar, dan kelompok komunitas dengan socio culture yang dimiliki (Rapoport, 1969). Kawasan Permukiman merupakan pengejawantahan satuan bangunan dan lingkungan, yang mencakup bangunan di lingkungan perumahan dan tempat kerja (household and workplace), lingkungan komunitas (neighborhood), serta satuan kawasan permukiman yang menjadi bagian kawasan perdesaan. Kawasan Pecinan Lasem sebagai cagar budaya memiliki karakteristik ruang kawasan yang khas yang berbeda dengan Pecinan lainnya. Karakter yang khas dapat dilihat dari segi latar belakang sejarah, wujud fisik (artefak), maupun aktivitas-aktivitas yang berlangsung di dalamnya. Sampai saat ini Pecinan Lasem masih relatif utuh dan dihuni juga menjadi salah satu sentra batik tulis yang khas. Karakter fisik kawasan merupakan perpaduan antara karakter arsitektur Cina bercampur dengan arsitektur Jawa dan arsitektur Kolonial. Perpaduan arsitektur tersebut terlihat dalam tipologi rumah tinggal yang unik. Masyarakat Cina terkenal dengan rumah toko mereka dan beberapa permukiman Cina di kota-kota di Indonesia memiliki rumah toko, meskipun tidak semua pemukiman Cina memilikinya. Di masa lalu, rumah toko adalah solusi untuk permukiman Cina yang padat. Rumah toko (ruko) berfungsi sebagai ruang bisnis di lantai dasar dan ruang hidup di lantai atas dan dianggap sebagai solusi terbaik untuk permukiman Cina yang padat (Handinoto, 2008). Kota Lasem di Jawa Tengah adalah salah satu contoh permukiman Cina yang tidak mengadopsi gaya rumah toko (Darmawan, 2012; Pratiwo, 2010). Sebagai ganti rumah toko mereka membangun rumah tinggal. Mereka membangun rumah yang lebih besar yang dilengkapi dengan halaman mirip rumah tinggal tradisional mereka di Cina yang disebut Siheyuan yang lebih nyaman daripada rumah toko seperti di Pecinan pada umumnya. Beberapa rumah tinggal orang Cina di Lasem telah berusia 150 hingga 200 tahun dan belum mengalami perubahan besar.  

Tentang kecintaannya tentang kota Lasem Rachman dkk., (2013) mengatakan: “Saya bicara soal bangunan-bangunan tua yang utuh tegak berdiri, seolah angkuh bercerita tentang kejayaan Lasem di masa lalu yang mungkin hilang sekarang. Tapi kita tidak bisa tidak mencintai Lasem, tanpa perlu bertanya apapun, kita bisa melihat torehan maestro pada setiap detail bangunan yang melampaui zaman di masanya, pada setiap goresan dinding dan ukiran kayu yang membelalakkan mata”.  

Karakteristik arsitektur pecinan Lasem mengalami proses transformasi yang panjang di manaarsitektur akhirnya menemukan ciri khas tersendiri. Itu berarti bahwa karakter arsitektur yang dilahirkan di Lasem telah melalui proses trial dan error yang sangat panjang sehingga melahirkan arsitektur rumah tinggal yang bernilai tinggi. 

 Permasalahannya beberapa rumah tinggal Tionghoa di Pecinan Lasem sudah mulai berubah, rusak dan hilang dikarenakan banyak faktor. Rumah tinggal di Lasem terutama yang berarsitektur Cina telah banyak ditinggalkan penghuninya (Rachmayanti dkk., 2017). Beberapa penghuni Lasem meninggalkan rumah mereka kosong sehingga rumah tersebut menjadi rusak dan tidak terawat, maupun diubah fungsi menjadi garasi bus/truk atau menjadi gudang. Lasem saat ini butuh perhatian dan penanganan serius untuk diselamatkan (Purwanto, 2018). Kawasan Pecinan Lasem mempunyai karakter arsitektur khas sebagai identitas yang perlu dipertahankan dan dijaga keberadaannya sehingga tidak terjadi perubahan wajah fisik kawasan yang bisa menghilangkan karakteristik ruang kawasan tersebut. Penelitian karakteristik ruang Kawasan Pecinan Lasem bermaksud untuk memberi nilai tambah bagi kawasan Pecinan dalam lingkup yang lebih luas. Penelitian ini bertujuan untuk mencari karakteristik ruang Kawasan Pecinan Lasem dan memperluas wawasan konsep-konsep konservasi yang tanggap terhadap karakteristik ruangnya. Karakteristik dikaji berdasarkan unsur pembentuk ruang fisik beserta artefak bangunan sebagai unsur yang melingkupinya dan aktifitas/kehidupan yang terjadi didalamnya

 

 Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 8, D 105-112 https://doi.org/10.32315/ti.8.d105

 Margareta M. Sudarwani1, Edi Purwanto2, R. Siti Rukhayah31 Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia 2,3Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas DiponegoroEmail korespondensi: margareta.sudarwani@uki.ac.id

Post Advertisement
Post Advertisement